JATENG MEMANGGIL- Puisi dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk mengungkapkan perasaan. Puisi adalah bentuk karya sastra dari hasil ungkapan dan perasaan penyair dengan bahasa yang terikat irama, matra, rima, penyusunan lirik dan bait, juga penuh makna.

Jika tidak terbiasa menulis puisi, mungkin kalian akan kesulitan membuatnya. Untuk itu, bagi para pelajar atau pemula yang ingin belajar menulis puisi, simak lima puisi karya pujangga asal Kendal, Bara Luqmana yang bisa dijadikan referensi dan contoh untuk kegiatan di sekolah.

Inilah lima puisi karya Bara Luqmana

Puisi pertama berjudul:

Hujan Dipagi Hari

Barangkali, jendela tidak ditutup, pintu tidak ditutup setelah maghrib kemarin, maka tak akan ada hujan pagi ini. Sebab setelah maghrib, gagang pintu memanjang, bel rumah menjadi gong, jendela merubah dirinya jadi cermin, memantulkan wajah jadi kota baru.

Kota baru dengan penduduk diriku dari diriku dan dirimu dari dirimu, yang bertegur senyum saat bertemu, yang berbicara jika benar-benar penting saja, yang tidak menanyakan maksud dari meminjam perkakas yang ada.

Kota baru yang menyapa bunga-bunga di taman dengan menatapnya, yang melempar makanan ke merpati-merpati liar tanpa mengurungnya. Peradaban baru yang menciptakan matahari dari kertas-kertas puisi yang dibakar.

Aku menciptakan gang-gang di situ. Menamai jalan di sini dengan nama-namamu, dan aku tinggal di sebuah rumah dengan pemandangan sawah yang mulai ditumbuhi bunga-bunga enceng gondok (by Bara Luqmana 2025)

Puisi Kedua berjudul:

Ditenda

Gerimis duduk di luar tenda.
Kita pura-pura tak mengetahui.
Sebab selangkah saja kaki keluar,
waktu akan mengerti.

Jarimu mengangkat pergelangan tanganku,
“Sudah saatnya,” tapi aku minta sebentar saja.
Tak ada foto berdua menempel di dinding tenda, tak ada dapur, tak ada piring,
tak ada perabotan rumah tangga,
sebab ini hanyalah tenda.

“Berapa hari lagi?”

Dan kau menyuruhku membuka kalender di kepala. Pasak-pasak mulai menyembul dari tanah karena kita memang tak menciptakan jalan air, sementara di luar mulai bergenang,
dan kamu masih ingin berlama-lama tidur di dadaku.

Suara gerimis di luar tenda menitiskan ide:
“Apa kita dirikan saja tenda baru?”
Lampu gantung menyorot kerut dahi kita.
Bulan pecah di luar malam.
Hanya jurang dan gelap hutan
yang memberi jalan untuk berpulang. (by Bara Luqmana 2024)

Puisi Ketiga berjudul:

Remah Bulan

Bulan seperti apel yang telah digigit,
dibiarkan tergeletak di meja kamar tidur.
Setiap malam aku memandanginya.
Siapa yang memakan bulan selain aku?
Siapa yang mengiris dan membagikan bulan selain aku?.

Warnanya tak lagi merah seperti darah,
kaku, tapi berkurang dalam remang.
Seperti almari kayu tak berpelitur,
tak lagi berwarna seperti anggur.
Dan bulan akan jadi seperti itu, seperti itu.

Lukisan apel di atas meja pun seperti buah apel, seperti bulan. Warnanya terkelupas, garisnya pudar, dikerok waktu. Dan bulan tak akan pernah bisa kumengerti. Dan malam telah dilayari bulan seperti itu, seperti itu.

Dan bulan kupendam dan bergunduk seperti punuk unta, seperti kuburan manusia,
sinarnya menyumbul dari retak tanah.
Ilalang tak tumbuh di atasnya,
sebab koloni waktu telah merubung dan membawa remahnya.

Botol-botol parfum telah kulempar dan pecah di atas langit, namun aku tetap mencium bau kayu-kayuan (by Bara Luqmana 2025)

Puisi Keempat berjudul:

Sprei Telah Berantakan

Sprei telah berantakan,
ditendang kaki, diguling badan,
digulung satu abad lamanya,
tak bersua. (Rindu telah menumbuhkan kukunya, mengais daging yang ada)

Tubuhmu memercikan api,
saat bergesekan dengan tubuhku.
Kamar mengerdipkan cahaya, menggemakan suara. (Beri aku tungkumu. Jadikan aku kayu sebagai bahan bakar yang membesarkan apimu)

Bibirku meninggalkan bekas-bekas merah di dadamu, seperti jejak pengembara.
Ia menapaki daerah rendah sebelum benar singgah di pusat jiwa. (Ijinkan aku memberi tanda daerah kekuasaanku, dengan menaklukkanmu dan menancapkan bendera pada setiap ceruknya)

Rambutmu basah seperti janur,
diguyur hujan. Ijinkan aku mendaki batangmu, kekasihku, walau licin, kan kupanjat sampai teguk air kelapa membasuh dahagaku.
(Tubuh kita bergelayut, seperti pohon yang tertiup angin, segala sesuatu basah seperti subuh).

Kita saling menyebut nama,
meledak seperti petasan dan meninggalkan denging di telinga. (Deru nafasmu masih terdengar, tatapan lembut, dan kecupan kecil menutup persemadian malam ini). (by Bara Luqmana 2024).

Puisi kelima berjudul:

Bulan Buat Dian

Bulan telah pecah dan tajamnya tenggelam ke laut adalah hari hari yang bergerak, segala rasa berserak di dasar laut, dan cahaya matahari hanya dapat memantulkan denyut ombak.

Aku adalah amuba yang terus membelah diri, berhamburan dan menempel di batu batu karang, arca yang tenggelam dan runtuh dihadapanmu. Sebuah kapal telah menjadi perahu, jadi sampan, jadi duyung yang berenang di mataku, yang memberiku botol bir berisi pasir putih dan di dalamya terselip gulungan kertas puisi.

DNA dalam selku telah memanggilmu, di antara kerutan kening saat malam hari dan lolongan anjing di masa lalu yang telah menelantarkanku. Perempuan yang kecantikannya menyelamatkanku dari tumpukan berkas berkas kerja.

Perempuan yang kecantikannya memungutku dari batas batas agama. Keheningan yang membuat suara laut terdengar dan lampu kapal dari kejauhan tampak seperti bintang bintang.

Aku tak menyangka bahwa ikan bercakap dengan tak bicara. Sirip dan ingsangmu bergerak, menciptakan ombak ombak kecil yang menggetarkan hatiku.

Ranjau laut yang meledakan kapal kapal selamku, dalam senyap. Setelah makna menjadi kabur dalam perjumpaan ini, gerai rambutmu menjadi tirai, pemujaan yang tak dilakukan di rumah ibadah. Waktu telah menjamah ular yang tak dapat melingkar di muka jemari. (by Bara Luqmana 2025)

Sebagai informasi, Bara Luqmana merupakan pemuda asal Kendal yang lahir pada tanggal 31 Desember 1997. Ia merupakan lulusan program studi Psikologi. Saat ini ia bekerja di salah satu bank swasta. Di luar pekerjaan profesionalnya, ia aktif dalam kegiatan sastra dan terus mengembangkan diri bersama Komunitas Pelataran Sastra Kaliwungu.